Buah yang Dijanjikan Ayah

WhatsApp Image 2017-03-08 at 14.55.42

Pengarang  : Nurhidayati, S.Pd.SD
Pengarang adalah guru di SDIT Buahati 2 lubang buaya
(20 besar terbaik naskah cerita terbaik dalam sayembara penulisan cerita anak berbasis kearifan lokal 2016)

Toko kami belum lama ini baru saja buka. Ayah membubuhkan nama toko itu dengan namaku, Toko Bagus Jaya. Ia berharap dengan adanya namaku di sana, aku menjadi rajin untuk menunggu. Maklum, Ayah tidak punya cukup uang untuk menyewa orang sebagai penjaga toko. Jangankan untuk menyewa, uang untuk membangun toko saja Ayah harus berjuang mati-matian.

Aku dan Ayah selalu bergantian menjaga toko. Biasanya giliranku adalah seusai pulang sekolah. Jika ayah tidak memiliki urusan lain, aku memiliki pilihan untuk bermain atau menemani dia. Tentu, aku lebih memilih menemani ayah. Aku senang jika menjaga toko bersama ayah.Selain jauh dari kata bosan, ada banyak hal yang bisa aku dapat dari ayah. Dia sering bercerita kepadaku tentang apa saja. Bisa dibilang hampir seisi dunia ini ayahku tahu.

Bukan aku sombong tentang ayahku.Tidak.Karena setiap kali aku bertanya tentang sesuatu, dia selalu menjelaskan kepadaku. Sedangkan, apabila aku diam, dia langsung bercerita tentang apa saja. Cerita itu pun tidak pernah sama dan selalu memberi pengetahuan baru buatku.

Dari sekian banyak cerita, ada yang begitu berkesan buatku.Cerita itu membuatku menunggu dan selalu bertanya-tanya.ayah pernah bilang kepadaku bahwa sebelum toko ini dibangun ada bibit yang ditanam. Menurut ayah tanaman itu bisa tinggi sekali.Hampir tidak diketahui batas tinggi tanaman tersebut.Bahkan bisa menembus langit.Terdengar aneh memang.Karena sampai sekarang tidak ada pohon yang muncul menembus atap tokoku.Tapi siapa yang peduli dengan pohon, aku tidak memakan kayu.Menariknya adalah tanaman itu bisa berbuah juga.

Ayah menjanjikan kepadaku buah yang tiada dua di dunia ini. Menurut ayah, disamping mengusir rasa lapar, buah itu memberikan kesegaran yang teramat sangat. Bukan itu saja, pemakan buah itu juga akan merasakan kesenangan yang luar biasa. Seolah segala macam keluhan dan derita hilang berkat buah itu.

Aku pernah bertanya kepada ayah, apakah buah itu dari surga ?Beliau bilang, tidak. Aku coba bertanya lagi, apakah sudah pernah mencicipinya ?Beliau menjawab belum. Ayah menambahkan jika buah yang ternikmat itu terlalu besar untuk dinikmati sendirian. Ayah ingin menikmatinya bersama aku dan ibu.

Buah yang dijanjikan ayah itu terkadang membuatku rela untuk berjalan ke toko sejauh tiga kilometer. Apabila sedang beruntung, perjalanan menuju kesana terasa santai. Namun berbeda cerita jika Bruno, anjing pemilik komplek itu menghadang. Aku harus berlari hingga pakaianku bersimbah keringat. Saking terbiasa berkejaran dengan Bruno, terkadang aku justru menikmati kegiatan berkejaran dengan hewan berkaki empat itu. Rasanya ada yang kurang jika belum kejar-kejaran dengan Bruno.

Buah itu jualah yang membuatku untuk lebih memilih menjaga toko ketimbang bermain bola bersama teman-teman. Seperti saat ini, aku duduk termenung sendirian melihat orang lalu lalang di pasar. Memang tak dapat kupungkiri, pikiran untuk bermain bersama teman-teman selalu saja terbayang di benak.

“Beliii…” Seloroh seorang perempuan muda memecah lamunanku.

“Silahkan, mau beli apa ?” Tanyaku singkat disertai senyuman. Seperti yang diajarkan ayah. Sebuah keramahan yang membuat siapa saja senang.

“Mmm… Telur seperapat kilo, tepung sekilo, margarin merek kuda lima buah, dan pengembang kue merek ubur-ubur tiga,” terang kakak yang kelihatannya mau membuat kue.

“Itu saja, ada tambahan lain ?” Tanyaku sebelum mengambil apa yang dia butuhkan.

“Sudah, dik, itu saja dulu,” ujar Kakak singkat.

Aku pun segera memasukan apa yang dia butuhkan ke dalam kantung plastik berwarna hitam. Sejurus kemudian kantung plastik bertukar dengan uang. Usai ucapan terima kasih Kakak itu pergi dengan segera. Aku segera lempar senyum sekedipan dia palingkan wajah.

Kembali aku diam. Duduk di balik etalase toko sembari mengulang kegiatan sebelumnya. Memandangi orang lalu lalang di pasar dengan ragam dan macam yang berbeda-beda.

Di tengah asyik memandangi orang-orang, sorot mataku tersedot ke sudut etalase.Tempat dimana Kakak yang barusan belanja berdiri. Ada benda berwarna merah marun berbahan kulit yang tergeletak di sana. Aku sama sekali tidak menyadari sedari tadi. Kuambil segera benda bernama dompet itu, dan kumasukan ke laci penyimpanan uang. Aku kembali diam. Duduk memandangi orang berseliweran dengan kegiatan mereka masing-masing.

Waktu pun berlalu tanpa ada pembeli datang. Kebosanan segera merayap untuk mengajak cari kegiatan. Pertama-tama aku menyapu lantai. Berikutnya, aku mendaftar barang dagangan. Kemudian, aku setel musik dan berdendang. Bosan tetap enggan pergi, diganti rasa penasaran. Mataku melirik laci untuk membuka isi dompet itu.

Ayah pernah bilang untuk tidak membuka-buka barang yang bukan milik sendiri. Tetapi sekedar melihat dan tahu juga tidak salah sepertinya. Tetapi kan, ah sudahlah… Sejam atau dua jam Kakak Perempuan itu tidak datang, aku segera lihat isi dompet itu.

Waktu pun berlalu, Kakak itu juga tak kunjung datang. Aku segera buka isi dompet tersebut dan melihat lembaran uang yang cukup banyak beserta beberapa kartu,seperti kartu pembayaran dan tanda pengenal. Pikiranku segera dihantui mainan, sepatu, dan baju baru. Bahkan sepeda baru dengan segala kekerenan yang menyertainya. Ah, tidak.

“Bagaimana keadaan toko ? Banyak pembelinya ?” Ujar ayah yang datang tiba-tiba membangunkan aku dari lamunan jahat.

 “Eh, ayah… Tidak.Maksudku belum banyak.Tadi hanya ada satu yang membeli,” ujarku seraya membenahi kegugupan.

“Apa yang dia beli ?”Tanya ayah singkat sembari jalan kedalam membuka laci.

“Sepertinya dia mau buat kue.Biasa, bahan-bahan seperti tepung, telur, dan pengembang kue,” jelasku kepada ayah diiringi sorotan mata memperhatikan gerak ayah yang membuka laci.

Mata ayah sedikit terbelalak.Dia segera mengambil dan membawa dompet dari dalam laci kehadapanku. “Ini dompet siapa, nak ? Kenapa ada di sini ?”Tanya ayah serius.

“Dompet itu milik perempuan yang membeli di toko kita,” ujarku singkat.

“Kenapa kamu tidak segera kembalikan ?”Tanya ayah cepat.

“Aku baru tahu dompet itu tertinggal saat perempuan itu sudah pergi menjauh,” jawabku seadanya.

Ayah dan aku hanya diam.

Kedua alis ayah beradu, dia tampak sedang berpikir. Lalu, dia menghampiriku dan segera duduk di sampingku. Ayah segera membuka isi dompet tersebut. Satu benda yang membuat ayah tampak serius memperhatikan, sebuah kartu.Sepertinya adalah tanda pengenal.

Mata ayah menerawang jauh dari tempat kami duduk, entah apa yang dipikirkan beliau. Kami berdua menjadi tanpa obrolan sama sekali. Keheningan yang sama sekali tidak membuatku nyaman. Aku mencoba mencairkan suasana dengan mencoba berbicara dengan ayah. Aku membuka obrolan dengan apa yang selalu menjadi rasa penasaran buatku.

“Ayah pernah bilang, bahwa ayah pernah menanam pohon, kan ?”Tanyaku.

“Ya, betul.Kenapa ?”Jawab ayah disertai pertanyaan.

“Tetapi, aku sama sekali tidak pernah menemukan pohon itu toko ini.Lagi pula sangat tidak mungkin pohon dapat tumbuh di toko dengan atap di atasnya,” terangku.

“Apa kamu sudah periksa setiap sudut toko ?”Tanya ayah kembali.

“Tentu.Aku sudah tahu setiap jengkal toko ini,” jawabku pasti.

“Mungkin ayah lupa memberitahukan kamu jika pohon yang ayah tanam hanya bisa dirasakan oleh si penanam.Dia tidak bisa dilihat, didengar, disentuh, diraba, atau diendus.Pohon itu hanya bisa dirasakan di hati,” terang ayah sembari menunjuk ke arah dadaku di akhir penjelasan.

“Benarkah ada pohon semacam itu ?”Tanyaku heran.”Aku tidak pernah mendengarnya di sekolah,” jelasku kepada ayah.

“Ya, ada.Mungkin kamu lupa bahwa kita pernah menanam bersama.Kita sekarang ini juga sedang merawatnya, mungkin kamu yang tidak sadar,” jelas ayah disertai penjelasan yang sebenarnya menambah kebingunganku.

“Lalu, bagaimana dengan buahnya ?”Tanyaku penasaran.

“Belum, nak.Sabar.Tidak ada pohon yang berbuah secepat itu,” ujar ayah singkat.

Sebelum aku kembali melontarkan pertanyaan, ayah segera beranjak dari tempat duduknya.Dia segera keluar entah kemana.Nampaknya dia bosan menanggapi pertanyaanku yang terlampau banyak.

Selang beberapa menit, ayah kembali membawa sesisir pisang ambon. Dia mencabut satu pisang itu dan memberikannya kepadaku.”Makanlah pisang ini.Buah ini bagus untuk tubuh kamu,” seloroh ayah.”Pisang ini juga membuat kamu kuat dan sabar menunggu buah yang ayah janjikan,” tambah ayah disertai senyuman.

“Oh ya besok kita tidak perlu buka toko.Kamu ikut temani ayah,” ujar ayah disela-sela obrolan.

“Besok itu sabtu, dan pastilah ramai.”Ujarku memberikan penjelasan. “Kenapa kita tidak berjualan saja ?”Tanyaku untuk mengubah keputusan ayah.

“Tidak apa.Kasihan pemilik dompet ini.Dia sangat membutuhkan dompet ini,” ujar ayah memberikan penjelasan.

Keesokan hari, ayah dan aku pergi menuju rumah kediaman pemilik dompet.Kami berdua kesana mengendarai sepeda motor. Tentu, ayah yang menyetir di depan, sedangkan aku duduk di belakang. Menurut ayah, jarak yang harus ditempuh lumayan jauh dan juga menghabiskan banyak waktu.

Entah beberapa jauh kami melaju, melewati tikungan dan lubang, motor ayah sepertinya bermasalah.Aku merasakan goyangan-goyangan di jok belakang.Sumber goyangan itu sepertinya berasal dari ban. Aku mencoba menengok ban itu, dan memang ban telah kempis. Terpaksa kami harus menepi dan mendorong motor hingga bertemu tukang tambal ban.

Kira-kira 500 meter kami mendorong motor secercah harapan muncul, tukang tambal ban. Ayah pun segera mempercayakan motornya untuk dibenahi. Tak sampai 20 menit kami menunggu, ban telah selesai dan motor siap untuk ditunggangi.

Namun, tatkala hendak membayar, air muka ayah berubah.Beliau panik karena dompet yang biasa dia bawa tertinggal di rumah.Memang pagi tadi kami berangkat dengan tergesa-gesa.Bahkan setelah sarapan, kami tak sempat berbincang-bincang dengan ibu. Biasanya, ibu adalah orang yang selalu mengingatkan kami akan barang yang harus di bawa. Tetapi pagi itu tidak, karena kami tergesa-gesa.

“Ayah, pakai saja uang yang ada di dompet merah itu dulu,” ujarku kepada ayah memberikan saran.

Sebentar saja Ayah diam mempertimbangkan ucapanku. “Tidak, nak.ayah ingin mengembalikannya dalam keadaan utuh,” jawab ayah.

“Tetapi besok kan kita bisa mengembalikannya.Toh, beberapa ribu bukanlah jumlah yang banyak,” aku mencoba memberikan alasan.

Ayah segera menoleh cepat dan memandangku. “Kamu percaya dengan buah yang ayah janjikan ?”Tanya ayah datar.

Pertanyaan itu justru memantik rasa kesalku.Mengapa di tengah-tengah terik matahari dan kepanikan ayah justru membahas buah.Menurutku ini bukan waktunya berbicara tanaman.”Ya, aku percaya,” aku menjawab dengan setengah semangat.

Ayah kemudian meninggalkanku dan berjalan mendekat ke tukang tambal ban. Keduanya tampak bercakap-cakap, berunding untuk memecahkan masalah.Seperminuman kopi percakapan segera berhenti. Ayah tampak menyerahkan sebuah benda berbentuk kertas yang dibungkus plastik. Selesai benda itu berpindah tangan, keduanya tampak bersalaman. Ayah segera meninggalkan si tukang tambal ban dan menghampiriku.

“Apa yang tadi ayah berikan ?”Aku bertanya sekedar iseng.

“STNK,” jawab ayah singkat.

“Apa itu ?”Tanyaku.

“Surat Tanda Nomor Kendaraan,” jawab ayah menjelaskan.

“Ooh…” Aku tidak tahu untuk apa benda itu. Aku hanya mengerti penjelasan ayah terdengar seperti sebuah singkatan.

Sekali lagi ayah melajukan kendaraannya.Ada rasa lega setelah lepas dari masalah. Aku rasa ayah juga merasakan hal yang sama.

Belum berapa jauh melaju, di depan kami ada keramaian. Nampaknya bukan kemacetan yang ditimbulkan lampu merah atau kecelakaan.Tetapi keramaian yang ditimbulkan oleh beberapa orang berseragam, polisi tepatnya.

“Duh, ada razia,” gumam ayah.Terdengar ada kepanikan di suara beliau.

Seperti halnya orang-orang di depan, kami pun diberhentikan pula. Seorang polisi yang entah berpangkat apa mendatangi kami dan memberikan salam. Kami berdua segera turun, dan satu polisi lain memeriksa motor kami.

“Bisa lihat STNK dan SIM, bapak ?”Tanya polisi itu kepada ayah.

Aku segera tahu bahwa pertanyaan itu menjadi masalah buat kami.Karena STNK yang ayah pegang sudah dijaminkan ke tukang tambal ban.Sedangkan yang tersisa hanyalah SIM yang biasa ayah taruh di balik jok motor. Aku tahu apa arti SIM, yakni Surat Izin Mengemudi. Surat itu dimiliki oleh orang yang sudah cukup umur.Karena itu disamping tidak memiliki SIM, aku juga tidak boleh mengendarai motor.

“Begini Pak, tadi STNK saya sudah dijaminkan ke tukang tambal ban,” ayah memberi penjelasan. “Karena dompet saya ketinggalan, jadi saya jaminkan STNK saya dia percaya,” terang ayah memberikan alasan.

Polisi itu diam, wajahnya setengah kelihatan ditutup bayangan dari topi.”Baik, saya percaya alasan dan masalah, bapak,” ungkap polisi itu.”Tetapi aturan tetaplah harus dipatuhi,” jelas polisi memberikan alasan.

“Jadi bagaimana, pak ?”Tanya ayah penasaran.

“Motor saya tahan di sini sampai bapak membawa STNK,” polisi itu berikan solusi.

Mereka kembali tenggelam dalam perbincangan. Dari obrolan itu terjadi kesepakatan bahwa apabila ayah tidak kembali dalam jangka waktu tiga jam, motor akan dipindah ke Kantor Polisi. Tentu, ayah bisa membawa pulang motor saat STNK itu sudah ada.

Pada akhirnya kami harus berjalan menuju rumah perempuan pemilik dompet. Ayah bilang bahwa jarak dari tempat razia hingga ke rumah yang dituju mirip dengan jarak dari rumah ke toko. “Tidak terlalu jauh,” kata ayah.

Keletihan dan panas yang menyengat saat berjalan menyelipkan kekesalan di bathin.Sepanjang jalan aku terus menggerutu kepada ayah tentang sikap yang dibuatnya. Padahal apabila uang itu dipakai saat tambal ban, pastilah kami tidak akan berjalan dan sudah sampai sedari tadi.

Ayah tetap bersabar menghiburku melalui candaan buatnya. Namun sia-sia saja, kekesalan di dadaku masih terus terbakar.Sepertinya ayah tahu itu dari raut wajah yang aku buat.Beliau pun menghentikan langkahnya dan berjongkok menggenggam pundakku dengan kedua tangannya.

“Kamu percaya dengan buah yang ayah janjikan ?”Tanya ayah.

“Ayah masih saja bicara tentang buah dan buah ! Cepatlah jalan, hari sudah semakin panas,” aku menggerutu karena pertanyaan ayah menurutku sama sekali tidak pada waktunya.

Dia hanya diam memandangiku.Dari kening ayah meluncur keringat dengan buliran yang besar.Aku tahu, dia juga letih dan kepanasan sepertiku.Melihat itu aku menjadi menyesal telah berbicara seperti itu ke ayah. Beliau sama sekali tidak marah, dia justru meraih tubuhku dan menggendong di belakang. Ayah berjalan membawa beban yang bertambah, dia sama sekali tidak mengeluh ataupun menggerutu.

Usai perjalanan yang melelahkan, kami berhenti pada rumah yang begitu besar. Memiliki pagar tinggi berwarna putih dengan cat bangunan yang berwarna sama. Dari luar bangunan tampak sepi seperti tiada penghuni. Ayah mencoba memanggil berkali-kali, namun tidak ada satupun yang menunjukan batang hidung.

Hingga akhirnya ayah menemukan tombol dan segera memencetnya.Berselang beberapa detik dua orang keluar, laki-laki dan perempuan.Keduanya tidak kukenal, begitu juga dengan perempuan yang baru muncul itu.Dia bukan perempuan yang kami cari.

“Cari siapa, Pak ?”Tanya si perempuan.

“Saya mencari Ibu Siska,” jawab ayah. “Apakah beliau ada ?” Ayah melontarkan pertanyaan.

“Ada keperluan apa, pak ?”Tanya pria yang berdiri di sebelah perempuan.

“Saya mau mengembalikan dompet Ibu Siska,” Terang ayah singkat.

“Silahkan masuk, pak.Biar saya panggilkan Ibu Siska,” ujar pria itu diiringi dengan tangan mempersilahkan ke dalam.

Aku dan ayah berjalan masuk melewati pagar putih besar.Kami berjalan menyusuri jalan masuk ke bangunan yang lumayan jauh.Kanan-kiri jalan itu ditumbuhi tanaman beraneka ragam.Begitu indah dan menciptakan hawa sejuk.Tak terkecuali bangunan putih besar yang juga indah sekaligus megah.

Sesampainya di dalam rumah itu, kami pun dipersilahkan duduk di sofa besar berwarna merah dengan ukiran kayu.Sejenak kami duduk, perempuan yang menyambut kami di gerbang membawa baki berisi aneka ragam sajian.Di atas baki terdapat sebejana minuman sirup dingin berwarna merah dan kue-kue kering dalam toples.Setelah dipersilahkan, aku dan ayah tak ragu untuk mencicipinya.

“Ya ampun, terima kasih sudah datang !”Ujar seorang perempuan setengah berteriak dari arah belakang tempat kami duduk.Aku tahu dia adalah perempuan bernama Siska yang dicari aku dan ayah.

Siska segera menyalami ayah, sedangkan aku, selain disalami pipiku juga dicubitnya.Ayah pun segera memberikan dompet merah milik Siska.Dia segera membuka dan memeriksa isi dompet itu. Wajah Siska segera berubah begitu segar dan ceria setelah dompetnya kembali.

“Terima kasih lho sudah jauh-jauh mengantar dompet ke sini. Sekali lagi terima kasih ya, pak, dik…” Ujar Siska mengawali pembicaraan.

“Tidak apa, bu. Sudah tugas kami sebagai sesama manusia dan mahluk ciptaan Tuhan untuk saling membantu,” ujar ayah diiringi dengan senyuman.

Siska meringis hingga gigi-gigi putihnya terlihat berjajar rapi.”Ah, bapak ini bisa saja.Saya jadi nggak enak tahu,” ungkap Siska.

Mereka kemudian terlihat berbicara intens.Dari mulai keadaan diri hingga profesi masing-masing.Dari obrolan mereka, diketahui bahwa Siska adalah seorang produsen kue.Dia memiliki pabrik rumahan yang mempekerjakan beberapa karyawan.Dari obrolan itu juga tampak bahwa Siska percaya kepada ayah.Sehingga Siska berjanji untuk kembali dan membeli segala kebutuhan pabriknya di toko kami. Singkatnya Siska mengajak ayah bekerja sama. Tentu itu kabar baik buat ayah dan aku.Karena pembeli tetap sudah hadir di toko kami.Itu berarti keuntungan buat toko kami.

Benar saja, keesokan harinya perempuan itu menepati janji.Siska datang kembali ke toko kami memesan banyak tepung, telur, dan pengembang kue.Hari berikutnya Siska tidak datang, namun digantikan oleh pegawainya hingga seterusnya.Minggu berlalu di ganti bulan, toko kami berkembang pesat. Selain Siska, pembeli lain juga datang berbelanja di toko kami. Keuntungan bertambah membuat ayah bisa mempekerjakan dua orang.Posisiku digantikan oleh mereka.Kedatanganku tidak lagi berkontribusi.Biasanya aku hanya duduk-duduk memperhatikan mereka, itu membuatku bosan.

Setelah waktu yang cukup lama pergi ke toko. Ada rasa kangen menyelinap untuk pergi ke sana. Aku rindu melihat kegiatan di pasar, dengan orang-orangnya dan keriuhan yang diciptakan.Tak berpikir panjang, aku segera lajukan sepeda baru yang dibelikan ayah.Kini aku tidak lagi berjalan kaki.Kejaran Bruno juga tidak berarti lagi buatku.Aku bisa saja meninggalkan gonggongan hewan itu sebelum mencapai telinga.

Sesampainya di sana, aku melihat ayah dan para pegawainya sedang bersantai. Tidak ada kesibukan dan aktivitas yang mengganggu.Kedatanganku tepat. Ayah segera menghampiriku dan mengajakku berbincang.

“Bagaimana sekolah tadi, lancar ?”Tanya ayah yang menurutku sekedar basa-basi.

“Bagus.Semuanya lancar dan terkendali,” jawabku sekenanya. “Bagaimana keadaan toko, yah ?”Tanyaku kembali.

“Baik,” jawab ayah ringkas. “Kamu mau makan buah ?” tanya ayah menawarkan jajanan.

Mendengar kata buah, aku teringat sesuatu yang pernah dia janjikan.”Buah apa dulu, aku hanya mau buah yang ayah pernah janjikan,” aku mencoba menagih janji.

Ayah sempat diam sejenak, memperhatikanku dalam-dalam. “Kamu diam di sini.Perhatikan keadaan sekeliling toko dan dirimu sendiri.Rasakan baik-baik,” bilang ayah dengan nada cukup serius.Dia pun segera pergi meninggalkanku entah kemana.

Kuperhatikan di toko itu terdapat dua orang yang sibuk mencatat; Warna cat toko juga berubah lebih menarik; barang-barang di dalam toko juga menjadi lebih banyak; Di depan toko terdapat mobil pengangkut barang belanjaan.Aku mengalihkan perhatikan ke diriku. Aku sekarang memiliki sepeda; Aku tidak lagi harus pergi ke toko; Di tanganku melingkar jam yang dapat menyala; bajuku pun baru dan wangi; dan sendalku keren bisa nyala dalam gelap.

Ayah kembali dengan membawa semangka yang terbelah dua. Dia mengajak aku makan langsung dari semangka itu menggunakan sendok. Benar-benar segar dan puas.

“Bagaimana, sudah kamu rasakan buah itu ?”Tanya ayah.

Aku hanya mengangguk pelan.

“Oh ya, omong-omong semangka itu makanan para raja lho !”Seru ayah sembari tersenyum.