Amnesia Pendidikan Karakter

Oleh :

Dr. Pardan Prasetyo, M.Pd

Direktur Buahati Islamic School Jakarta

Namanya Alya, siswa kelas 4 SD yang kisahnya menjadi viral disalah satu grup Whatsapp para guru di sekolah kami. Kisahnya bermula ketika Alya ingin membeli seragam sekolah baru yang dinilainya sudah layak ganti. Kemudian dengan penuh harap dia memberitahu ayah dan ibunya tentang baju seragam yang akan dibelinya. Baju itu seharga 436 ribu rupiah. Begitu semangatnya Alya kemudian dia berjanji dan menabung selama 3 hari agar dapat membeli baju itu di toko sekolah, sementara sisanya dia berharap kepada orangtuanya. Alya berhasil menabung uang sebesar 6 ribu rupiah, sehingga orangtuanya menggenapinya dengan membayar 430 ribu rupiah. Pada hari ditentukan, Alya ditemani ayahnya membeli baju seragam baru itu. Alya tersenyum bahagia, sedang sang Ayah takjub dengan tekad dan keikhlasan anaknya yang rela menabung uang jajan dan menahan godaan makan bersama temannya saat jam istirahat sekolah. Baginya bukan masalah besar kecilnya uang yang disisihkan tetapi bagaimana kecerdasan personal Alya yang mampu merealisasikan sebuah mimpi dengan tekad dan semangat untuk meraih harapannya itu.

Doa Setelah Wudhu
Kisah Alya diatas adalah bagian fragmen pendidikan karakter yang selama ini mulai jarang kita temui di sekolah-sekolah. Tragedi amnesia (lupa) pendidikan karakter membuat sebagian sekolah berubah wajah sekedar menjadi institusi pendidikan yang mengejar prestise dan prestasi kognitif semata. Tak ada lagi relung mengajari siswa dengan custom (kebiasaan) positif edukatif semisal karakter jujur, pantang menyerah, semangat, rajin beribadah, taat kepada orangtua, disiplin, setia kawan dan sebagainya. Entah sengaja atau tidak, sikap lupa atas character education ini berdampak terhadap penguatan jatidiri dan sikap positif siswa. Jika berlanjut, siswa boleh jadi akan cerdas secara intelektual namun miskin kepekaan jiwa dan emosi sehingga lahirlah siswa-siswa bermasalah baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan sosial. Fenomena tawuran dan tindak asosial yang banyak melibatkan siswa adalah karena minimnya character education yang diajari dan dibiasakan di sekolah.
Revolusi Mental

Sejatinya membentuk karakter bukanlah hal mudah dan butuh waktu evolusi untuk mencapai parameter ideal. Namun sekolah sebagai institusi yang memiliki legitimasi kuat dalam mendidik siswa memiliki kemampuan mewujudkan pendidikan karakter secara lebih dini dan efektif. Meminjam jargon penguasa, sekolah dapat melakukan peta dini revolusi mental agar siswa memiliki karakter positif sesuai dengan kepribadian bangsa seperti jujur, berani, tertib, suka menolong, taat aturan, disiplin, rajin beribadah, bersemangat menuntut ilmu, menghormati orangtua dan sebagainya.

Revolusi mental sejatinya adalah pembiasaan karakter positif di lingkungan sekolah. Ragam aktivitas yang dilakukan sekolah baik aktivitas kelas, kegiatan ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler adalah sarana penumbuhan karakter-karakter siswa. Sehingga sekolah sebenarnya memiliki peran signifikan dalam memberikan character education dengan monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan. Maka, ide full day school yang ramai diwacanakan pemerintah, yang rintisan awalnya agar siswa mampu berkreativitas memanfaatkan waktu di sekolah hingga petang hari bersisian dengan tujuan pendidikan karakter. Sehingga dengan proses pembiasaan dan ragam aktivitas di sekolah, siswa mengikuti silabus pendidikan karakter secara alami dan langsung melalui aktifitas personal mapun komunal dalam lingkungan sekolah yang kondusif sepanjang hari belajar.

Masalahnya adalah selama ini tema character education menjadi isu inferior bila dibandingkan dengan isu kelulusan dan prestasi kognitif siswa. Sekolah merasa cukup memberikan pengetahuan moralitas dan budi pekerti kepada siswa tanpa mampu memberikan contoh aplikasi secara efektif di lapangan. Dus, pengetahuan yang didapat hanya sekedar diketahui dan mampu dijawab siswa dalam lembar ujian soal. Sekolah hanya akan bangga jika siswa mereka meraih nilai akademik terbaik untuk menjaga gengsi sekolah di mata stakeholder. Guru-guru cukup merasa bangga jika anak didik mereka mampu menjawab ragam soal sulit UN atau ujian masuk PTN tanpa perlu merasa repot mengurusi isu karakter kesiswaan.

Penulis sendiri mengakui membangun komunitas sekolah yang memiliki visi mencetak siswa dengan karakter-karakter positif bukanlah hal mudah. Butuh sinergitas dan kesolidan semua elemen yang terlibat dalam pendidikan. Oleh karena itu visi besar sekolah harus betul-betul terinternalisasi baik di kalangan pimpinan sekolah, guru, siswa dan orangtua. Character education sejatinya bagaimana semua elemen sekolah dan siswa mampu mengaplikasikan nilai-nilai keagamaan dan nilai moralitas sosial dalam realitas harian mereka. Keteladanan, pembiasaan dan monitoring menjadi key word sekolah dalam merealisasikan setiap program pendidikan karakter siswa.
Bayangan ideal sebuah sekolah dengan visi character education adalah bagaimana sekolah mampu membentuk kepribadian pengelola sekolah secara paripurna untuk selanjutnya secara bersama memberikan efek positif dan daya gerak kepada para siswa untuk melakukan tindakan berkarakter yang lahir dari pemahaman dan semangat atas amalan aktivitasnya. Jadi sekolah yang tidak amnesia terhadap pendidikan karakter menjadi laboratorium aktivitas perlombaan kebaikan dimana siswa secara confident tampil sebagai siswa yang berkarakter positif dengan beragam kecerdasan yang mereka miliki. Mereka pintar tapi sopan dan rajin ibadah, mereka pandai tapi setia kawan dengan tutur kata yang santun. Sehingga gejala bolos, tawuran, mencontek, bullying dan sebagainya menjadi budaya yang amat tidak populis di sekolah.

Sekali lagi, upaya mendidik siswa agar memiliki karakter positif membutuhkan waktu yang tidak singkat dan hanya mungkin dilakukan manakala sekolah memiliki visi pendidikan karakter yang terukur secara jelas. Sekolah yang bercirikan amnesia dan abai character education boleh jadi secara akademik sangat bagus dan dikenal tapi belum tentu mampu melahirkan siswa-siswa berkarakter. Karena inti dari pendidikan karakter adalah pembiasaan dan keteladanan positif yang secara-menerus yag dilakukan pengelola sekolah dan siswa sehingga melahirkan efek-efek kebaikan secara berantai. Akademik bagus, karakter teladan adalah tipikal siswa yang menjadi harapan dari visi-misi sekolah. Jika ini terjadi, kita dapat selalu optimistis sosok-sosok seperti Alya akan banyak lahir dari rahim sekolah di tanah air. Wallahu a’lam bisshawab.