Sekali Lagi, Sekolah Kreatif !

img_8190

Jika ditanya sebuah pilihan, apakah anak kita mau dididik menjadi orang kreatif atau orang cerdas? Kira-kira apa jawaban kita sebagai orangtua. Mungkin ada yang menjawab ingin anaknya kreatif, ada pula yang ingin anandanya berotak cerdas. Pilihan pertama hanya mungkin terjadi jika sekolah melakukan transformasi menjadi sebuah sekolah yang mendidik siswanya dengan paradigma baru sebagai sekolah kreatif.

Siswa kreatif adalah tipikal pembelajar yang kemampuan kreativitasnya diasah dan didik secara optimal oleh sekolah kreatif. Sekolah kreatif merupakan satuan unit pendidikan yang dalam proses pembelajaran mendukung munculnya inisiasi kreatifitas dari semua unsur yang ada  di dalam sekolah. Mulai dari pengelola sekolah, kepala sekolah, guru, staf pendukung, dan siswa diberikan stimulan agar mampu melakukan kreatifitas terbaiknya sehingga sekolah menjadi unggul dan maju. Khusus terhadap siswa, pihak sekolah harus memiliki persepsi sama bahwa tiap-tiap anak didik pada dasarnya adalah siswa cerdas.

Dalam penelitian Jeffrey H. Dyer, Hall B. Gregersen, dan Clayton M. Christensen dalam bukunya The Innovator’s DNA (2011) pendidikan berperan amat besar dalam melejitkan kreativitas anak didik. Penelitian ini mengungkapkan bahwa 2/3 kemampuan kreativitas seseorang diperoleh melalui pendidikan, 1/3 lagi didapat dari keturunan (genetik). Sementara kecerdasan (intelijensia) justru berkebalikan, 1/3 diperoleh dari pendidikan dan 2/3 justru didapat dari genetik. Ini artinya, sekolah kreatif berperan amat besar dalam melejitkan potensi kreativitas seorang siswa melalui proses pembelajaran yang diterimanya di sekolah.

Hasil penelitian diatas juga mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis kreativitas mampu memberikan hasil yang sangat signifikan (hingga 200 %) dibandingkan dengan pembelajaran yang menggunakan basis intelejensia (hanya peningkatan 50 %). Dengan demikian, sekolah kreatif amat mungkin lebih mampu menjawab persoalan masa depan siswa dibandingkan dengan sekolah yang hanya mengandalkan kecerdasan kognitif semata. Ini sejalan dengan pemikiran pakar multiple intelligences Howard Gardner yang merumuskan bahwa kegiatan kreativitas dan tindakan problem solving adalah inti kecerdasan sesungguhnya seorang siswa, pembelajar kreatif.

Kemampuan kreativitas siswa setidaknya diperoleh melalui dua aktivitas kreatif yakni kreatifitas personal dan kreativitas interpersonal. Kreativitas personal meliputi aktivitas mengamati (observing), bertanya (questioning), menalar (associating), dan mencoba (experimenting). Sementara kreatifitas interpersonal berupa networking (membangun jejaring sosial). Dari sinilah perlunya dirumuskan sebuah kurikulum pendidikan berbasis proses pembelajaran yang mengedepankan pengalaman diri melalui proses kreatif berupa mengamati, menanya, menalar, dan mencoba sehingga mampu melejitkan potensi kreativitas siswa. Selain itu, peserta didik mulai dibiasakan melakukan kerjasama dan bekerjasama dengan orang lain (collaborative learning). Kelima proses kreatif ini dapat kita namakan sebagai panca-inovator, lima aktivitas inovasi.

Penilaian Kreatif

Guna mewujudkan visi sebuah sekolah kreatif, tak hanya kurikulum berbasis kreativitas yang didasari pengalaman personal dan guru kreatif yang mengajar multistrategi, tapi juga kesiapan lain yang tak kalah penting yakni penilaian kreatif dan penguatan proses kreativitas siswa. Dalam bukunya, Developing Young Children’s Creativity: What Can We Learn from Research?, Caroline Sharp (2004) menjelaskan cara membentuk nilai perilaku kreatif peserta didik dapat dilakukan dengan cara antara lain : memberi tugas yang tidak hanya memiliki satu pilihan jawaban benar (multi jawaban),  menghargai jawaban yang unik (aneh), menekankan pada proses bukan hasil (output), memotivasi peserta didik untuk mencoba, menentukan sendiri yang kekuranglengkapan sebuah informasi, memiliki interpretasi sendiri terkait pengetahuan-kejadian, dan memberikan keseimbangan antara kegiatan terstruktur dan spontan-ekspresif.

Dari aktivitas penilaian kreatif ini, sekolah perlu merumuskan sebuah silabus kurikulum yang mencakup jejak penilaian pada proses dan hasil belajar anak didik  seperti memberikan pertanyaan ujian berjawab banyak, memberi nilai positif bagi jawaban yang kurang tepat, memberi nilai pada proses ikhtiar tak hanya hasil, dan memberi apresiasi atas spontanitas siswa.

Sementara penguatan proses kreativitas dapat dilakukan dengan beragam cara seperti menggunakan pendekatan sainstifik dalam proses kreatif tadi, menggunakan ilmu pengetahuan sebagai penggerak pembelajaran untuk semua bidang studi, menuntun siswa melakukan discovery learning, menekankan kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi-pengetahuan dan berpikir logis-sistematis-kreatif.

Selain faktor-faktor diatas, sekolah kreatif setidaknya harus memiliki dua hal penting agar mampu melahirkan visi sekolah kreatif sebagaimana yang digambarkan dalam UU No. 20/2003 tentang Pendidikan Nasional yang bertujuan melahirkan peserta didik yang bertaqwa, berakhlak mulia, kreatif, mandiri, sehat berilmu dan demokratis. Pertama, guru kreatif sebagai motivator dan fasilitator utama dalam merangsang kreativitas siswa di sekolah. Guru harus terus melakukan inovasi baik dari sisi metode maupun model pembelajaran sehingga suasana kelas mendukung lahirnya kreativitas anak didik. Kedua, prasarana dan sarana sekolah yang mendukung aktivitas kreatif siswa dalam menelurkan ide-ide cerdas dan melakukan problem solving dalam proses belajar, baik secara mandiri maupun berkelompok.

Jika semua ikhtiar sekolah kreatif terwujud, maka sekolah dapat menjadi wahana -meminjam istilah Mendikbud Anies Baswedan- ‘taman firdaus’ yang menyenangkan. Sekolah kreatif pada dasarnya adalah sekolah yang menyenangkan bagi  siswa dan stakeholder sekolah. Tentu saja, dibanding sekolah yang hanya mengandalkan intelejensia semata, sekolah kreatif lebih menjanjikan sebuah kepastian masa depan karena anak kita telah terdidik dan terlatih berkreativitas, melakukan problem solving serta membiasakan diri membangun relasi positif dengan orang lain. Salam kreatif.

Wallahu a’lam.

Oleh : Dr. Pardan Prasetyo, M.Pd, MM 

(Direktur Buahati Islamic School)